Share with on:

Bayang-bayang Penuaan yang Terlupakan: Kesehatan Jiwa dan Lansia Indonesia.

vector dot 1
20240118 Blog Kesehatan Jiwa dan Lansia Indonesia

Indonesia’s silver tsunami is approaching, yet a hidden storm clouds the twilight years of many elders. The wisdom and grace promised by autumn often arrive hand-in-hand with a heightened vulnerability to mental health struggles. In the hushed corners of tradition, where open expression of emotional wounds is frowned upon, many elderly Indonesians suffer in silence. But by understanding the unique mental health challenges they face, we can illuminate a path towards a brighter sunset.

[Terjemahan]

Tsunami perak Indonesia semakin mendekat, namun badai tersembunyi menyelimuti masa senja banyak lansia. Kebijaksanaan dan keanggunan yang dijanjikan oleh musim gugur sering kali datang bersamaan dengan meningkatnya kerentanan terhadap perjuangan kesehatan mental. Di sudut-sudut tradisi yang sunyi, di mana pengungkapan luka emosional secara terbuka tidak disukai, banyak lansia Indonesia yang menderita dalam kesunyian. Namun, dengan memahami tantangan kesehatan mental unik yang mereka hadapi, kita dapat menerangi jalan menuju matahari terbenam yang lebih cerah.

 

Kesehatan Jiwa dan Lansia Indonesia

Sebuah penelitian terbaru memberikan gambaran yang cukup mengejutkan: hampir seperempat orang Indonesia yang berusia di atas 60 tahun bergulat dengan gejala depresi. Angka ini mungkin meremehkan angka yang sebenarnya, karena banyak kasus yang tak terhitung jumlahnya yang masih terselimuti oleh kesunyian budaya dan tidak terdiagnosis. Usia senja dapat membawa gelombang tantangan – penyakit kronis, rasa kehilangan, kesepian yang menggerogoti, dan tarian teknologi yang membingungkan – semuanya mampu mengintensifkan gejolak emosional akibat penuaan.

May, seorang janda berusia 68 tahun yang suaranya bergetar dengan gema kecemasan dan depresi, berbicara mewakili banyak orang. “Lima tahun yang lalu, saya kehilangan suami saya, matahari saya,” curhatnya, “membuat hari-hari saya terasa hampa dan lemas seperti cucian pudar di jemuran. Melangkah keluar rumah terasa seperti mengarungi lumpur.” Kisahnya, sayangnya, adalah kisah yang tidak asing lagi, sebuah cerminan tentang bagaimana mobilitas yang berkurang dan hubungan sosial yang terputus dapat mengikis kesejahteraan emosional para lansia.

“Rasa hormat dan empati kepada generasi yang lebih tua adalah hal yang terpenting,” tegas Farah Djalal, CEO HatiPlong yang memiliki semangat yang berapi-api. “Hanya dengan menghancurkan stigma dan membina komunikasi yang terbuka, kita dapat benar-benar mulai menyembuhkan luka ini.”

Namun, di tengah-tengah bayang-bayang tersebut, cahaya harapan muncul. HatiPlong melakukan perjuangan tanpa henti, menawarkan layanan Curhat Line gratis untuk para lansia yang kesepian. Jika diperlukan, para psikolog klinis kami yang berpengalaman dapat membantu para lansia. 

Meskipun masih ada tantangan, ada optimisme yang tumbuh di hati para pendukung kesehatan mental. Dengan membongkar sikap kuno dan memperkuat layanan kesehatan mental bagi para lansia, kita dapat membekali mereka untuk menavigasi ketidakpastian di masa-masa keemasan mereka.

Para lansia kita berhak untuk menikmati martabat dan ketenangan pikiran yang telah mereka dapatkan. Jadi, marilah kita berjalan bersama mereka, bergandengan tangan, menuju cahaya, menerangi jalan menuju matahari terbenam yang lebih cerah untuk hari-hari musim gugur mereka.

Bagikan artikel ini

Posting Terbaru

Pustaka Mood Disosiasi (1)
Pustaka Mood Memahami Self harm (1)

Anda mungkin juga menyukainya

illustration right side 1
curhat line