Share with on:

The Invisible Child: Mengapa Ada Orang yang Tidak Suka Spotlight

vector dot 1
The Invisible Child  Mengapa Ada Orang yang Tidak Suka Spotlight

Dalam situasi sosial, sangat mudah bagi Anda untuk mengenali orang-orang yang memiliki “pengaruh” di sana. Biasanya orang-orang yang berada di bawah spotlight dan menjadi pusat perhatian adalah orang yang ekstrovert, pandai berbicara, supel, dan ramai. Mereka bisa tampak menonjol dibandingkan orang-orang lain di situasi sosial. Biasanya ketika mereka tidak ada, suasana jadi tidak seru seperti biasanya, atau jika dalam bahasa gaulnya “nggak ada lo, nggak ramai”.

Karena pusat perhatian yang didapatkan dari orang-orang seperti ini, tidak sedikit orang yang ingin tampak asyik, ramai, dan supel agar bisa diterima oleh lingkungan sosial. Namun yang seringkali tidak disadari, ternyata ada pula orang-orang yang tidak keberatan tidak mendapatkan spotlight dari lingkungannya. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi preferensi tersebut adalah orang tersebut tumbuh besar sebagai the invisible child, atau anak yang tidak terlihat.

Konsultasi dengan psikolog sekarang

Mengenal Invisible Child dan Invisible Adult

Dalam artikelnya, Matt Kaufman mendeskripsikan invisible child sebagai anak yang tidak menonjol untuk alasan apapun. Biasanya mereka merupakan anak yang penurut dan berperilaku baik, tetapi jarang melakukan hal-hal yang dapat menarik perhatian orang lain. Mereka jarang mengutarakan pendapat secara terbuka, jarang bertanya di kelas, dan lebih memilih untuk didekati duluan dalam berteman. Oleh karena itu, meski mereka bukan anak yang tampak “bermasalah”, biasanya mereka bukan orang yang terkenal di lingkungan pertemanan dan bukan anak yang sangat supel sehingga bisa bergaul dengan siapapun.

Ketika beranjak dewasa, invisible child bisa sangat mahir dalam pekerjaannya, namun tidak menyukai posisi yang membuatnya harus menjadi pusat perhatian. Mereka lebih nyaman bekerja di balik layar dan memastikan semua pekerjaannya selesai dengan baik. Dengan kata lain, mereka menjadi invisible adult yang telah terbiasa menjadi invisible. Di sisi lain, invisible adult juga merasa mereka tidak sepenting orang lain dan merasa ketika mereka tidak ada, orang lain tidak akan merasa kehilangan.

Kenapa Ada Orang yang Tumbuh sebagai Invisible Child?

Sejak bayi, anak sudah bisa mengungkapkan kebutuhannya dengan cara yang terbatas yaitu menangis. Ketika lapar, bayi menangis. Ketika mengantuk tapi suasana sekitar berisik, bayi menangis. Semakin bertambah usia, anak pun belajar cara-cara lain untuk mengungkapkan kebutuhannya dari mengobservasi bagaimana orang tua menanggapi kebutuhan yang dikemukakan anak dan bagaimana orang tuanya sendiri mengungkapkan kebutuhannya. Ketika seorang anak mengungkapkan kebutuhan, misalnya ingin dihibur dan dipeluk karena di sekolah ia bertengkar dengan teman baiknya, dan orang tua dapat memberikan apa yang dibutuhkan anak, anak akan merasa terpenuhi secara emosional.

Sayangnya, tidak semua orang tua peka terhadap kebutuhan emosional yang diungkapkan anak. Ketika sebagian besar waktu orang tua tidak peka dan tidak memenuhi kebutuhan emosional anak, anak akan belajar untuk tidak mengungkapkan kebutuhannya sama sekali dan menjadi invisible. Kondisi ini dapat menyebabkan anak mengalami childhood emotional neglect

Memahami Lebih Dalam Kaitan Invisible Child dan Childhood Emotional Neglect

Childhood emotional neglect merupakan kondisi di mana orang tua tidak menyadari, memahami, memvalidasi, dan merespon kebutuhan emosional anak. Biasanya orang tua yang membesarkan anaknya tanpa kedekatan emosional merupakan orang tua yang juga dibesarkan tanpa kedekatan emosional, orang tua yang sakit-sakitan, orang tua yang terlalu sibuk dalam bekerja, atau orang tua yang belum matang secara emosional sehingga masih berkutat berusaha memenuhi kebutuhan emosionalnya sendiri. Karena kondisi ini bukan bentuk nyata dari kekerasan atau pengabaian, childhood emotional neglect seringkali tidak disadari oleh orang yang mengalaminya. Hanya saja, orang tua gagal untuk peka dan memenuhi kebutuhan anak secara emosional.

Ketika melihat kembali ke masa lalu, biasanya orang-orang yang dibesarkan tanpa kedekatan emosional dengan orang tua merasa masa kecilnya baik-baik saja. Hampir semua kebutuhan materi terpenuhi, mulai dari rumah, makanan di atas meja yang tersedia sehari-hari, pakaian, dan disekolahkan hingga tamat. Namun, perlu diingat bahwa kebutuhan anak bukan sekadar materi, melainkan juga emosional.

Orang tua yang terlalu sibuk dengan dirinya sendiri, baik itu karena ketidakmatangan emosional atau kesibukan bekerja, biasanya sudah tidak memiliki energi lagi untuk menyadari dan memenuhi kebutuhan emosional anak. Misalnya, ketika anak merasa sedih karena di-bully di kelas dan ingin bercerita kepada orang tua, bisa saja orang tua yang pulang bekerja larut malam dan sudah kelelahan tidak memiliki energi lagi untuk mendengarkan anak. Bukannya memberikan ruang aman yang anak butuhkan, bisa jadi orang tua hanya menyuruh anak untuk tidak usah terlalu memikirkan masalah tersebut. 

Anak-anak yang menyadari bahwa orang tuanya sibuk dan tidak available secara emosional jadi belajar untuk memendam kesulitan yang ia rasakan dari orang tua. Tidak sedikit dari mereka yang berempati dengan kondisi orang tua yang sakit-sakitan atau terlalu sibuk bekerja demi memenuhi kebutuhan finansial keluarga, sehingga ia tidak ingin menambah beban orang tuanya dengan menjadi invisible child.

Inilah akar dari invisible child, di mana anak merasa ia tidak “dilihat” oleh orang di sekitarnya. Ia belajar untuk memendam kebutuhan dan opini karena tidak ada orang yang memperhatikan dan merespon bahkan saat ia mengungkapkannya. Jika orang tuanya saja yang seharusnya berperan sebagai orang terdekat anak tidak memperhatikannya, apalagi orang lain yang asing seperti guru dan teman-teman. Pada akhirnya, invisible child yang belajar untuk tidak membuat dirinya tampak mencolok tumbuh menjadi invisible adult yang juga tidak terbiasa menjadi pusat perhatian.

Sebagai Invisible Adult, Apa yang Bisa Dilakukan?

Hal yang bisa dilakukan pertama kali adalah menyadari dan mengakui bahwa kebutuhan emosionalmu seringkali diabaikan sejak kecil, sehingga Anda jadi terbiasa untuk merasa “aku tidak penting” dan “tidak akan ada orang yang merasa kehilangan jika aku tidak ada”. Pada kenyataannya, Anda pun sama pentingnya dengan orang lain, Anda berhak mendapatkan perhatian dan apresiasi dari orang lain, dan ada orang-orang yang merasa kehilangan jika Anda tidak ada. 

Selanjutnya, Anda dapat belajar memberikan diri sendiri apa yang Anda tidak dapatkan di masa kecil, yaitu perhatian dan validasi emosional. Mulailah peka terhadap perasaan dan kebutuhan emosional diri sendiri. Apa yang Anda rasakan? Apa yang Anda butuhkan? Apa yang Anda inginkan? Orang yang dibesarkan sebagai invisible child terbiasa memendam kebutuhan karena tidak ingin menjadi beban, sehingga di masa dewasa ini Anda belajar untuk kembali mengenali kebutuhan diri. Anda berhak untuk memiliki kebutuhan emosional, sama seperti orang lain pada umumnya.

Terakhir, meskipun rasanya sakit dan ada penyesalan terhadap masa lalu, sebagai orang dewasa Anda dapat belajar untuk memandang ke depan dan mengubah apa yang bisa diusahakan. Anda memiliki kendali atas diri sendiri, namun tidak atas orang lain. Masa lalu tidak bisa diubah lagi, sehingga yang bisa dilakukan saat ini adalah berusaha melepaskan dan menerima agar Anda bisa melangkah ke depan. Anda merupakan orang yang berdaya atas kehidupan Anda, sama pentingnya seperti orang lain, dan berhak untuk divalidasi emosi dan kebutuhannya

Referensi :

Kaufman, M. (n.d.). The invisible child

Webb, J. (2019, 17 Maret). Raised by struggling parents: The invisible child. 

Bagikan artikel ini

Posting Terbaru

Anda mungkin juga menyukainya

illustration right side 1
curhat line