Share with on:

Impostor Syndrome: Why You Don’t Feel Like You Deserve It

vector dot 1
Impostor Syndrome  Why You Dont Feel Like You Deserve It

Oleh : Andini Damayanti, M.Psi., Psikolog.

Setiap orang pasti pernah merasa tidak percaya diri, dimana hal tersebut adalah sesuatu yang wajar. Kalimat-kalimat seperti di bawah ini pun tidak jarang terlintas dalam pikiran.  

“Kayaknya tadi dipuji itu hoki aja deh”

“Kebetulan aja sih tadi bisa berhasil”

“Kalau orang lain tahu dibalik semua pencapaian ini aku sebenarnya biasa aja, bagaimana ya?”

Tidak jarang kalimat-kalimat di atas sering muncul, mengganggu dan membuat kita terus menerus meragukan bakat, potensi, kemampuan ataupun pencapaian diri sendiri. Kadang kala, kita merasa keberhasilan yang kita alami adalah sebuah kepalsuan atau kebohongan. Kita menilai bahwa pencapaian yang kita alami lebih disebabkan oleh faktor eksternal, misalnya karena beruntung atau mendapatkan bantuan dari orang lain. Padahal, orang lain bisa saja menilai bahwa kita memang mampu atau kompeten untuk mendapatan pencapaian tersebut. Hal ini menyebabkan kita terus merasa rendah diri, tidak mampu dan tidak berhak atas pencapaian yang didapatkan.

Ternyata, dalam psikologi, fenomena ini disebut dengan Impostor Syndrome. Ssst, walaupun begitu tidak perlu khawatir karena fenomena ini bukan sebuah gangguan psikologis yang dapat didiagnosa. Namun demikian, fenomena ini diprediksi setidaknya 70% dari populasi di Amerika Serikat pernah mengalami fenomena ini. Jadi kalua kamu pernah merasa seperti ini, kamu tidak sendirian, jangan khawatir!

Impostor Syndrome pertama kali dicetuskan oleh dua psikolog dari Amerika Serikat, Pauline Clance dan Suzanne Imes pada tahun 1978. Uniknya, fenomena ini seringkali dilaporkan oleh orang yang high achiever dan dipandang berhasil oleh lingkungan sekitarnya. 

Walaupun banyak keberhasilan yang diraih, apa sih yang menyebabkan seseorang bisa mengalami Impostor Syndrome?

  1. Pengasuhan masa kanak, misalnya biasa dituntut untuk memperoleh nilai akademis yang tinggi.
  2. Tekanan dari lingkungan sosial, terutama pada lingkungan sekitar yang mengutamakan pencapaian atau keberhasilan. Tidak jarang orang yang mengalami fenomena ini juga dipandang positif oleh lingkungan sekitar. Misalnya, dipandang sebagai orang yang pintar, berhasil, atau berperilaku baik. 
  3. Kepribadian, dimana individu yang lebih perfeksionis, introvert, dan kurang percaya diri cenderung lebih sering mengalami fenomena ini.
  4. Penyesuaian diri di lingkungan baru, misalnya berada di tempat kerja baru atau di sekolah baru. Ada tekanan untuk menunjukkan keberhasilan di lingkungan yang baru, namun sering diiringi oleh perasaan tidak kompeten dan membandingkan diri dengan orang sekitar. 

Tentunya, Impostor Syndrome sebaiknya segera dikenali dan diatasi agar tidak menimbulkan dampak berkepanjangan, seperti depresi dan kecemasan. Lalu… bagaimana cara untuk mengurangi Impostor Syndrome ini? 

  1. Kenali diri sendiri dan cari tahu ketakutan atau kecemasan yang mengganggu. Tanyakan kepada diri sendiri beberapa pertanyaan berikut:

– Apa yang membuat aku harus selalu sempurna dan kompeten?

– Apa yang selama ini aku lakukan untuk mendapatkan penerimaan dari orang lain? 

– Apakah membuat kesalahan berarti tidak layak untuk diterima apa adanya?

    1. Mencari bukti. Tuliskan prestasi atau keberhasilan yang selama ini sudah diraih dalam dua kolom dengan tulisan “Bukti bahwa aku mampu” serta “Bukti bahwa aku tidak mampu”. Menuliskan pemikiran dapat membantu kita untuk menyadari kekeliruan dalam menilai diri sendiri. 
    2. Terapkan mindfulness. Luangkan waktu dan berhenti sejenak dari semua aktivitas, kemudian tarik nafas panjang hingga cukup tenang.  Kemudian, perhatikan lingkungan sekitar, kondisi tubuh, emosi atau apapun yang bisa disadari saat itu. Jika sudah lebih tenang, pikirkan kembali dan re-assess situasi yang baru saja terjadi dan apa penyebabnya. Terakhir, rencanakan apa yang harus dilakukan dan ambil keputusan dengan tenang. 
    3. Fokus pada nilai (value) yang dimiliki. Alihkan pemikiran kita dari standar kesuksesan dan ekspektasi dari orang lain, sehingga dapat lebih fokus pada value yang benar-benar penting bagi diri kita. 
    4. Afirmasi positif. Buatlah kata-kata atau afirmasi yang ingin kita dengarkan dari orang lain, namun kita ucapkan pada diri sendiri. 
  • Kunjungi profesional. Jika sudah mencoba menerapkan cara-cara di atas namun belum berhasil, silahkan mendatangi tenaga profesional untuk mendapatkan bantuan lebih lanjut. Psikolog HatiPlong siap menolongmu setiap saat, so feel free to consult us! 

 

Sumber :

Cuncic, A. (2023, April 12). Imposter syndrome: Why you may feel like a fraud. Diakses dari https://www.verywellmind.com/imposter-syndrome-and-social-anxiety-disorder-4156469

Saymeh, A. (2023, February 22). What is imposter syndrome? Learn what it is and 10 ways to cope. Diakses dari https://www.betterup.com/blog/what-is-imposter-syndrome-and-how-to-avoid-it

Bagikan artikel ini

Posting Terbaru

Pustaka Mood Disosiasi (1)
Pustaka Mood Memahami Self harm (1)

Anda mungkin juga menyukainya

illustration right side 1
curhat line