Annisa Axelta, M. Psi., Psikolog
Dalam kehidupan, beberapa diantara kita mungkin tidak mengetahui bagaimana cara membangun suatu hubungan yang sehat. Jika seorang individu tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sering menunjukkan konflik, maka pola hubungan tidak sehat dapat dianggap sebagai hal yang “normal”, sehingga berdampak kepada kesulitan untuk memahami bagaimana dasar terbentuknya hubungan yang sehat.
Memiliki keterampilan untuk membangun hubungan yang sehat sebetulnya bisa dimulai dari mengasah kepekaan serta mengeksplorasi diri kita sendiri. Misalnya, kita harus belajar untuk memahami kebutuhan kita, ataupun memahami pasangan seperti apa yang kita inginkan.
Lalu, mengapa kita perlu membangun hubungan yang sehat dan apa sebenarnya komponen dari hubungan yang sehat?
Kualitas hubungan kita dengan relasi terdekat, misalnya pasangan, ternyata sangat penting untuk meningkatkan kondisi kesejahteraan kita. Hubungan yang sehat dapat menciptakan rasa keterhubungan dan meningkatkan kemampuan kita dalam mengatasi, melalui serta kembali bangkit setelah mengalami kejadian yang menekan. Selain itu, berbagi momen indah bersama orang terdekat ternyata juga dapat meningkatkan kecenderungan kita untuk merasakan berbagai emosi positif serta mendapatkan dukungan emosional. Kedua hal tersebut dapat menjadi faktor penguat kita ketika mengalami berbagai macam hal buruk dalam kehidupan.
Sebetulnya, definisi dari “hubungan yang sehat ” dapat diartikan berbeda karena setiap individu memiliki pengalaman dan dinamika hubungan yang unik. Mungkin, kita memiliki perbedaan dalam membangun standar untuk menciptakan hubungan yang sehat, misalnya, beberapa pasangan lebih mementingkan aspek-aspek seperti komunikasi yang jelas dalam hubungan. Pasangan lainnya mungkin lebih mementingkan aspek kejujuran, ataupun mementingkan bagaimana cara kita untuk menunjukkan kasih sayang kepada pasangan.
Meskipun pengalaman kita dalam membina hubungan berbeda, namun terdapat beberapa elemen penting yang harus ada dalam setiap hubungan sehingga kita dapat menciptakan hubungan yang sehat. Dalam ilmu psikologi, banyak peneliti yang mengkonseptualisasikan kualitas hubungan dalam hal seberapa puas masing-masing pasangan ketika menjalani suatu relasi, sehingga hanya berfokus pada aspek hedonis (kesenangan atau kebahagiaan). Namun demikian, kita percaya bahwa masih banyak hal lainnya yang perlu dipertimbangkan untuk membangun hubungan yang sehat.
Itu sebabnya, para peneliti juga melihat aspek lainnya, meliputi pentingnya kualitas hubungan, atau perkembangan dari suatu hubungan. Suatu hubungan dapat menjadi bermakna, ditandai dengan adanya komitmen, pengorbanan, dan adanya dampak positif pada pertumbuhan setiap individu (Fincham et al., 2007; Stanley et al., 2006; Finkel et al., 2014).
Fowers et al., (2016) menyebutkan bahwa hubungan yang sehat menyangkut adanya:
Oleh karena itu, apabila kita ingin menilai suatu perkembangan dalam relasi, kita dapat merefleksikan mengenai hal-hal positif maupun negatif yang telah kita bangun dalam relasi tersebut. Misalnya, tanyakan kepada diri, apakah kita mendapatkan makna dari hubungan yang kita jalani? Apakah kita menghargai pencapaian pasangan kita? Apakah pasangan kita lebih banyak memberikan usaha dibandingkan kita? Berbagai pertanyaan tersebut penting untuk dipertimbangkan ketika kita menilai kualitas hubungan yang sedang kita bangun.
Selain melakukan refleksi diri untuk menilai relasi yang kita jalani, bagaimana kah cara kita membangun hubungan yang sehat?
Hubungan yang sehat sebetulnya membutuhkan suatu usaha dari masing-masing pihak. Memulai suatu hubungan mungkin lebih mudah untuk dilakukan, tetapi mempertahankan hubungan dalam jangka waktu yang panjang adalah hal utama yang perlu kita perhatikan. Mari kita terapkan dan pahami bahwa berada di dalam sebuah hubungan yang sehat tentu akan membuat hati setiap pasangan merasa bahagia dan bebas dari kekhawatiran.
Sumber:
Fincham, F., Stanley, S., & Beach, S. (2007). Transformative processes in marriage: An analysis of emerging trends. Journal of Marriage and Family, 69, 275-292.
Finkel, E. J., Hui, C. M., Carswell, K. L., & Larson, G. M. (2014). The suffocation of marriage: Climbing Mount Maslow without enough oxygen. Psychological Inquiry, 25, 1-41
Stanley, S. M., Whitton, S. W., Sadberry, S. L., Clements, M. L., & Markman, H. J. (2006). Sacrifice as a predictor of marital outcomes. Family Process, 45, 289-303.
Apa itu Self Harm? Perilaku menyakiti diri sendiri, atau secara formal di sebut dengan istilah…
Trauma memang menjadi salah satu kondisi yang banyak diatasi dengan EMDR (Eye Movement Desensitization and…
Trauma adalah pengalaman yang bisa membekas. Kenangan dan emosi negatif yang terkait dengannya dapat terus…
Saat seorang klien menjalani sesi pertamanya, biasanya sesi tersebut dibuka dengan asesmen dan konseling. Untuk…
Bayangkan kamu sedang berada di sebuah acara sosial untuk menjalin hubungan bisnis dan di sekelilingmu…