Umum

Relasi dengan Orang Tua dan Kesehatan Mental saat Kita Dewasa

Sampai kapan kita akan dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu bersama orang tua?

Mungkin sebagian dari kita punya pertanyaan yang serupa. Ketika tubuh bertambah dewasa, ingatan terkait relasi dengan orang tua bisa jadi makin menguat dan mempengaruhi kondisi kesehatan mental kita. Hal ini telah banyak diteliti dan secara umum menemukan bahwa relasi kita dengan orang tua (bahkan sejak kehamilan) memiliki potensi mempengaruhi kesehatan mental kita hingga dewasa (Kolk, 2014; Levy & Orlans, 2014; Steele & McKinney, 2018; Therivel & McLuckey, 2017).

Konsultasi dengan psikolog sekarang

Tidak ada relasi yang sepenuhnya sempurna.

Tentu, pengalaman kita dengan orang tua pasti terbagi menjadi dua, yaitu pengalaman positif dan negatif. Pertanyaan berikutnya adalah pengalaman mana yang lebih banyak dan lebih kuat? Ketika pengalaman positif yang lebih kuat, seseorang cenderung berkembang menjadi individu dewasa yang resilien dan memiliki risiko rendah untuk mengalami masalah kesehatan mental. Begitu pula sebaliknya. 

Penelitian Steele dan McKinney (2018) yang didukung oleh berbagai penelitian lainnya menemukan bahwa ketika orang tua memiliki masalah kesehatan mental dan terjadi kekerasan fisik dalam keluarga, maka hal ini akan berasosiasi dengan masalah kesehatan psikologis anaknya ketika beranjak dewasa. Semakin tinggi kualitas relasi orang tua dan anak (terutama ibu dan anak), maka akan semakin tinggi pula kualitas kesehatan mental anaknya ketika beranjak dewasa. Secara lebih khusus, relasi ibu dan anak berperan besar terhadap kualitas kesehatan mental anak perempuan.

Relasi yang berkualitas itu seperti apa?

Kolk (2014) menjelaskan bahwa ‘’rasa aman’’ menjadi kunci terbentuknya relasi yang baik antara orang tua dan anak. Rasa aman ini bisa dilihat secara fisik maupun emosional. Kehadiran dan kehangatan orang tua menjadi hal yang sangat penting untuk perkembangan psikis yang sehat pada anak (Levy & Orlans, 2014).. 

‘’Saya tidak mendapatkan itu sejak kecil.’’

Adakah yang merasa seperti ini setelah membaca paragraf di atas?

Kita boleh bersedih ataupun marah untuk itu. Tentu rasanya tidak menyenangkan. Hanya saja, ketika kita menghentikan langkah pada menyalahkan orang tua, maka tidak akan berdampak apa-apa pada diri kita. Terjadang, kita pun perlu untuk melihat kembali bahwa menjadi orang tua tidak sepenuhnya mudah. Sangat mungkin apa yang dilakukan orang tua pada kita adalah apa yang mereka terima sebelumnya. Begitulah rata-rata penelitian menemukan asal mula sebuah pola asuh diterapkan. 

Pertanyaannya, rantai ini mau diputus dari diri kita saat ini atau kita mau menyerah dan tanpa sadar melanjutkannya?

Walaupun relasi kita dengan orang tua mempengaruhi kondisi psikis kita hingga dewasa, bukan berarti kita adalah individu pasif yang menerima akibatnya saja. Meminjam pernyataan dari Kolk (2014), pengalaman melalui perang yang menyakitkan bisa memunculkan dua kemungkinan: (1) kita menjadi penakut bahkan mendengar suara keras atau hal-hal terkait perang atau (2) kita menjadi individu yang waspada yang berani untuk menghadapi perang selanjutnya.

Kita bisa lakukan reparenting.

Jika saat ini kita adalah telah dewasa, maka sediakan waktu untuk kita kembali ke diri sendiri. Reparenting adalah memberikan diri kita suatu hal yang kita tidak peroleh dari pengasuhan orang tua. Kasih sayang? Perhatian? Rasa bangga? Apa yang rasanya rumpang di kehidupan kita? 

Dalam upaya reparenting ini, beberapa orang dapat melakukannya sendiri dengan sumber daya yang dimiliki, tetapi kehadiran profesional seperti psikolog juga dapat membantu. Terkadang kita tidak sadar kebutuhan apa yang rumpang itu tetapi secara otomatis tubuh kita bergerak untuk memenuhi kebutuhan itu. Ada perilaku yang positif, maka kita teruskan. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan bahwa kita menutupi lubang tersebut dengan perilaku yang menyakiti diri sendiri, seperti menutup diri, menahan emosi, dan lain-lain. 

Jika dulu rasanya sudah sakit, saat ini jangan lagi menyakiti dirimu sendiri, yah 😊Setelah melakukan tahap-tahap dalam STOP skills ini, umumnya kita lebih siap untuk memutuskan suatu hal dan juga bereaksi dengan baik dari situasi yang sedang tidak baik.

Selamat mencoba!

Lihat artikel psikologi lainnya

Sumber :

Kolk, B. V. D. (2014). The Body Keeps The Score: Brain, Mind, and Body in The Healing of Trauma. NY: Viking Penguin

Levy, T.M. & Orlans, M. (2014). Attachment, trauma, and healing: Understanding and Treating attachment disorder in children and families (2nd ed). Washington DC, United States: Child Welfare League of America Press.

Steele, E. H., & McKinney, C. (2018). Relationships Among Emerging Adult Psychological Problems, Maltreatment, and Parental Psychopathology: Moderation by Parent-Child Relationship Quality. Family Process. doi:10.1111/famp.12407 

Therivel, J. & McLuckey, L. (2017). Abandoned Children. Community and Family Health Issue. Diakses dari www.salempress.com.

Tim HatiPlong

Recent Posts

Disosiasi

Sebelum kita memulai, coba Anda bayangkan situasi berikut: Anda berada di ruang kelas, sedang mengikuti…

2 months ago

Memahami Self-harm

Apa itu Self Harm? Perilaku menyakiti diri sendiri, atau secara formal di sebut dengan istilah…

2 months ago

EMDR: Lebih dari Sekadar Terapi untuk Trauma

Trauma memang menjadi salah satu kondisi yang banyak diatasi dengan EMDR (Eye Movement Desensitization and…

2 months ago

EMDR: Memproses Emosi dan Trauma untuk Hidup Lebih Baik

Trauma adalah pengalaman yang bisa membekas. Kenangan dan emosi negatif yang terkait dengannya dapat terus…

2 months ago

Pengenalan Psikoterapi: EMDR

Saat seorang klien menjalani sesi pertamanya, biasanya sesi tersebut dibuka dengan asesmen dan konseling. Untuk…

2 months ago

The Duck Syndrom: Buang Topeng Bebekmu dan Temukan Dirimu Yang Sebenarnya

Bayangkan kamu sedang berada di sebuah acara sosial untuk menjalin hubungan bisnis dan di sekelilingmu…

2 months ago