Blog Psikologi

Berhadapan dengan Orang yang Tidak ‘’Sefrekuensi’’ dengan Kita

Kita semua pasti pernah merasa ‘’tidak pas’’ ketika berinteraksi atau berelasi dengan orang lain. Orang tersebut bisa membawa memori tidak menyenangkan, membuat kita kehabisan energi, atau membuat kita merasa tidak nyaman. Terkadang  kita menyebutnya ‘’tidak sefrekuensi’’ atau secara ekstrim kita menyebutnya difficult people.  

Konsultasi dengan psikolog sekarang

Meskipun rasanya tidak nyaman, tetapi kondisi seperti itu terkadang tidak terhindarkan. Kita mungkin ingin memilih dengan siapa kita bertemu, tetapi belum tentu kita selalu bisa melakukan itu. Terlebih ketika seseorang itu adalah bagian dari keluarga, kerabat dekat, teman satu kelas, atau teman satu tempat bekerja. Bagaimana menghadapinya?

Sadari, Kita Semua Bisa Menjadi Salah Satunya

Mari kita sadari lebih dalam bahwa setiap orang sebenarnya punya potensi tidak sefrekuensi atau menjadi difficult people untuk orang lainnya, baik secara sengaja maupun tidak. Bisa jadi, kita pun adalah difficult people untuk orang lain. Dengan menyadari hal ini, kita lebih mudah untuk ‘’menerima’’ bahwa berhadapan dengan seseorang yang tidak sefrekuensi adalah hal yang wajar, bagian dari kehidupan. Setiap orang punya karakter yang berbeda dan tidak semua perbedaan itu bisa ‘’cocok’’ satu sama lain. Artinya, tidak sefrekuensi itu bukan berarti selalu ada yang salah dan benar tetapi bisa jadi sebatas perbedaan yang tidak bisa menyatu jadi satu. 

 

Kita Coba Lepaskan Label Negatif, Yuk!

Coba kita lihat lebih spesifik lagi,  apa yang menjadi masalah? Ketika kita mengatakan tidak sefrekuensi atau difficult people, sebenarnya bagian spesifik yang mana yang kita maksud. Satu sampai dua kata tentu tidak bisa menggambarkan penilaian kita terhadap seseorang secara utuh. Mari kita coba lepaskan label negatif itu dan fokus pada ‘’perilaku’’ yang membuat kita tidak nyaman. 

Contoh: ‘’Aku nggak sefrekuensi banget sama ayahku. Kerjaannya marah dan nyalahin orang mulu.’’

Kita bisa modifikasi menjadi ‘’Aku nggak nyaman sama cara ayah menyalahkan orang saat marah’’. 

Melepaskan label ini memberi ruang untuk kita melihat seseorang dengan lebih objektif. Intensitas emosi kita pun menjadi sesuai dengan pemicunya. Jika kita tahu bahwa yang membuat tidak nyaman adalah cara ayah menyalahkan orang, maka ketika ayah tidak melakukan itu, rasa tidak nyaman kita punya kesempatan untuk berkurang. Akan tetapi, ketika kita memberi label bahwa ayah tidak sefrekuensi atau ‘’selalu’’ menyalahkan orang, maka kita cenderung merasa tidak nyaman ketika bertemu dengan ayah dan mungkin memilih menghindar. 

 

Refleksi Diri Lebih Dalam

Ketika ada pola yang berulang, seperti terus menerus konflik dengan orang lain, merasa orang itu difficult people, atau hal yang terkait dengan itu, coba ambil waktu untuk jeda sebentar. Coba lihat ke dalam, sebetulnya ada apa yah di dalam diri saya sehingga dipertemukan dengan orang yang rasanya sulit untuk diajak bekerja sama atau berelasi secara sehat? Hal itu bisa menjadi pesan bahwa kita perlu menyadari atau bahkan mengubah sesuatu di dalam diri untuk kemudian bisa melalui ini. Bisa jadi dari cara kita melihat suatu hal, menyampaikan sesuatu, atau menerima situasi yang ada sebagai suatu situasi yang sementara – bukan terus menerus begitu. Terkadang apa yang kita tidak sukai dari dia, juga merupakan hal yang kita tidak bisa terima dari diri kita sendiri.

 

Vermani (2022) menuliskan beberapa strategi ketika harus berhadapan dengan seseorang yang rasanya sulit bagi kita:

  1. Ketika memang perlu untuk berelasi, lakukan pendekatan dengan cara yang sehat dan lembut. Hal yang kita lakukan sebenarnya adalah simbol diri kita, bukan hanya tentang siapa yang kita hadapi. Jika kita bukan orang yang difficult, maka buktikan dengan perilaku yang baik.
  2. Buat catatan tentang karakter, sikap, atau perilaku dari orang itu yang bisa memicu perasaan tidak nyaman pada diri kita.
  3. Coba temukan sikap positif dan negatif yang sebetulnya mirip dengan kita dari orang tersebut, termasuk karakter yang mereka punya dan sebenarnya kamu sukai.
  4. Terima seseorang sebagai dirinya sendiri karena tentu kita tidak bisa mengubah mereka.
  5. Coba praktik welas asih atau compassion ketika harus berinteraksi dengan orang lain, terutama mereka yang rasanya menantang bagimu. Jika kita terbiasa menerapkan self-compassion atau welas asih pada diri (menerima dan mengembangkan diri sekaligus), kita juga bisa menerapkan ini dalam relasi, yaitu menerima seseorang dan memberi ruang untuknya dalam memperbaiki diri jika memang ia menginginkan itu.

Sebagai tambahan pengingat, jika saat itu memang belum siap rasanya untuk menghadapi, kamu boleh untuk membuat jarak dan menenangkan diri dulu dalam jangka waktu tertentu. Kemudian saat siap, kamu bisa kembali berinteraksi dengannya. Akan tetapi, jika relasi tersebut sudah sampai pada tindak kekerasan, maka utamakan keamanan dirimu terlebih dahulu yah.

Referensi :

Tim HatiPlong

Recent Posts

Disosiasi

Sebelum kita memulai, coba Anda bayangkan situasi berikut: Anda berada di ruang kelas, sedang mengikuti…

4 weeks ago

Memahami Self-harm

Apa itu Self Harm? Perilaku menyakiti diri sendiri, atau secara formal di sebut dengan istilah…

1 month ago

EMDR: Lebih dari Sekadar Terapi untuk Trauma

Trauma memang menjadi salah satu kondisi yang banyak diatasi dengan EMDR (Eye Movement Desensitization and…

1 month ago

EMDR: Memproses Emosi dan Trauma untuk Hidup Lebih Baik

Trauma adalah pengalaman yang bisa membekas. Kenangan dan emosi negatif yang terkait dengannya dapat terus…

1 month ago

Pengenalan Psikoterapi: EMDR

Saat seorang klien menjalani sesi pertamanya, biasanya sesi tersebut dibuka dengan asesmen dan konseling. Untuk…

1 month ago

The Duck Syndrom: Buang Topeng Bebekmu dan Temukan Dirimu Yang Sebenarnya

Bayangkan kamu sedang berada di sebuah acara sosial untuk menjalin hubungan bisnis dan di sekelilingmu…

1 month ago