Belum lama ini, ada kabar tentang pasangan artis Indonesia yang akan bercerai, padahal usia perkawinannya masih sangat sebentar, baru mau masuk dua tahun. Pada sebuah wawancara terhadap salah satu dari pasangan tersebut, ia menyebutkan bahwa perpisahan mereka ini disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah ketidakcocokan terkait love language atau bahasa cinta masing-masing individu. Adanya perbedaan ini membuat mereka masing-masing merasa kurang dicintai oleh pasangannya, dan di satu sisi masing-masing merasa tidak dihargai oleh pasangannya ketika sudah berupaya menunjukkan rasa cinta dan kasih sayangnya, tetapi selalu dianggap tidak cukup oleh pasangannya. Hal ini menjadi menarik untuk dibahas, bukan tentang perceraian mereka, tetapi tentang love language atau bahasa cinta di dalam sebuah relasi, terutama relasi romantis
Konsultasi dengan psikolog sekarang
Teori tentang love language atau bahasa cinta ini dipopulerkan oleh Gary Chapman sejak tahun 1992 dan masih terus diteliti hingga saat ini. Bahasa cinta ini dapat menjelaskan mengenai bagaimana kebutuhan dicintai seseorang dapat dipenuhi, dan bagaimana cara atau gaya seseorang menunjukkan cintanya pada orang lain (Cook et al., 2013). Chapman mempopulerkan lima bahasa cinta, yaitu words of affirmation, acts of service, receiving gifts, physical touch, dan quality time (Cook et al., 2013). Berikut penjelasan singkat untuk masing-masing bahasa cinta tersebut :
Bahasa cinta bagi tiap orang bisa berbeda, dan penting untuk menyadari bahasa cinta diri sendiri dan pasangan, terutama untuk membantu terbangun komunikasi dan pemahaman untuk memperdalam relasi yang sedang dijalin. Meski kita merasa sepertinya cara kita mengekspresikan cinta dan merasakan cinta terdiri dari beberapa bahasa cinta, tetapi biasanya terdapat satu bahasa cinta yang paling membuat kita merasa dicintai. Bahasa cinta ini juga akan memprediksi perilaku apa yang akan dilakukan oleh seseorang untuk menunjukkan cinta dan kasih sayangnya dan apa saja hal-hal yang bisa membuat seseorang merasa dicintai.
Menurut Chapman, jika masing-masing pasangan memiliki bahasa cinta yang sama, maka relasi akan semakin kuat, dan jika seseorang bisa memahami bahasa cinta pasangannya dan bersikap sesuai dengan bahasa itu sehingga pasangannya merasa sangat dicintai, maka tingkat kepuasan dalam relasi itu juga akan meningkat. Sebaliknya, jika dalam relasi, masing-masing memiliki bahasa cinta yang sangat berbeda, maka ini akan menjadi tantangan dalam relasi tersebut (Bunt & Hazelwood, 2017). Kita tidak perlu juga harus mencari pasangan dengan bahasa cinta yang persis sama dengan kita, karena tidak ada individu yang persis sama. Akan tetapi menyadari apa yang membuat kita merasa dicintai, apa yang bisa membuat pasangan merasa dicintai, dan yang terutama mampu mengkomunikasikan kebutuhan dan belajar menghargai upaya pasangan kita, tampaknya akan jadi jauh lebih penting untuk membuat relasi kita semakin kuat dan memuaskan bagi kita dan pasangan kita.
Bunt, S. & Hazelwood, Z. (2017). Walking the walk, talking the talk : Love languages, self-regulation, and relationship satisfaction. Personal Relationships, 24(2), 280-290.
Chapman, G. (2004). The Five Love Languages : The Secret to Love that Lasts. Chicago : Northfield Publishing.
Cook, M., Pasley, J., Pellarin, E., Medow, K., Baltz, M., & Buhman-Wiggs, A. (2013). Construct validation of the five love languages. Journal of Psychological Inquiry, 18(2), 50-61.
Apa itu Self Harm? Perilaku menyakiti diri sendiri, atau secara formal di sebut dengan istilah…
Trauma memang menjadi salah satu kondisi yang banyak diatasi dengan EMDR (Eye Movement Desensitization and…
Trauma adalah pengalaman yang bisa membekas. Kenangan dan emosi negatif yang terkait dengannya dapat terus…
Saat seorang klien menjalani sesi pertamanya, biasanya sesi tersebut dibuka dengan asesmen dan konseling. Untuk…
Bayangkan kamu sedang berada di sebuah acara sosial untuk menjalin hubungan bisnis dan di sekelilingmu…